Sendiri itu Indah, tapi Melelahkan

Dan inilah aku, kembali larut dalam sunyinya malam, memandang menyusuri langit kelam sambil ditemani secangkir cokelat hangat dan sebuah buku biru kecil bergambarkan awan. Malam ini aku berniat untuk kembali menulis sambil mengingat-ingat kejadian yang dapat kuceritakan sebagai obat untuk mengatasi rindu yang terus mencuat di dalam benak setiap saat.

Sambil terus menengguk cokelat, akupun teringat pada satu kejadian di hari jumat beberapa minggu lalu. Waktu itu kerabat dekatku menelpon untuk sekedar menanyakan kabar karena memang kami sudah lama tidak berjumpa.
"Oi jak, gimana kabar lu sekarang?"
"Baik kok baik, lu sendiri gimana?"
Begitulah basa-basi yang memang sudah lumrah kami lakukan. Meskipun aku tau, tidak ada orang yang benar-benar peduli dengan kabar. Sebagian hanya ingin tahu, dan sebagiannya lagi untuk sekedar berbasa-basi menghilangkan sendu.

Hari itu, kami habiskan sore bersama untuk kembali mengingat kenangan sewaktu duduk di bangku SMA dulu. Tawa, canda, suka, maupun duka tak luput dari pembahasan kami sore itu. Mengingat teman dekatku hanya sedikit, jadi banyak hal yang aku lakukan dengannya.

Selepas itu, akupun kembali menyalakan motorku menuju tempat dimana aku biasa bergelut dengan mimpi-mimpi yang seringkali abstrak tak menentu, kamarku.

'Hmm coba aja ada yang menemani hari-hari ku selama ini, menjadi teman yang selalu ada dalam suka maupun duka, bersatu padu dalam irama harmonisasi rasa, dan mengganas menggebu menggelorakan cinta. Pasti ceritaku akan lebih berwarna untuk diceritakan ke orang-orang seperti sahabat ku tadi.'

Apa aku sudah cukup dewasa untuk mengenal kata mahligai nan indah yang biasa orang jadikan alasan untuk saling menyakiti dan melukai? Ataukah aku masih terlalu dini untuk mengenal kata-kata yang tak jarang membawa petaka dan juga duka yang biasa disebut cinta?

Aku teringat, dulu aku pernah mencintai seseorang dengan sebenar-benarnya cinta. Memikirkan masa depan bersama tanpa peduli akan berakhir seperti apa. Menjadikannya putri dalam singgasana hati yang kubuat dari rasa dan juga empati. Seolah-olah tak bisa kau dapati satu ruangpun di hati yang ku biarkan berdebu tak diurusi.

Namun, aku begitu kaku dalam berekpresi, terlalu cupu untuk mendekati, dan terlalu lugu untuk bertelepati (telekomunikasi lewat perantara hati). Mungkin aku tak seperti yang lainnya, aku lebih suka mengajakmu berkeliling dunia, lewat imajinasi yang kita buat berdua, menyatukan pikiran dan bersatu padu dalam cerita.

Tapi sayangnya, kamu tidak begitu. Kamu lebih memilih dia, yang tampaknya mampu membuatmu terus bahagia. Apakah ini kamu yang terlalu cepat bergegas? atau aku yang belum terbiasa hingga merasa tertindas? Aku ingin ada yang membersamai, tapi tak mungkin ku biarkan hati ini terluka untuk kesekian kali. Aku sudah lelah dengan permohonan hati yang terus menerus melukai dirinya sendiri.

Lambat laun akupun terlelap dalam guratan cerita penuh derita. Tapi syukurlah, cokelatku masih setia menemaniku menulis kata demi kata. Jika malam adalah serial TV, maka episode malam ini bercerita tentang hati. Ngomong-ngomong soal hati, aku tau hati diciptakan dari segumpal darah. Tapi aku masih tak mengerti mengapa ia tak pernah bernanah meski sudah berkali-kali terpanah oleh luka yang semakin parah.

Komentar

Postingan Populer